Rabu, 26 Agustus 2015

bab 1

Bandung, Rabu / 26 Agustus 2015
Aku (Gina, 31) tidak tau lagi, sekarang kami sudah berada di desa mana. Aku hanya melihat pemandangan yang sangat indah dari dalam taksi, jalan yang berada di antara hamparan sawah, dan gunung yang menjulang tinggi menambah betapa indahnya pemandangan alam.Tidak ada rumah yang tampak di pinggiran jalan, semuanya hanya sawah yang membentang luas.
Dari kejauhan, aku melihat sekumpulan anak-anak sedang asyik bermain, tertawa dan berteriak tanpa ada beban yang mereka fikirkan. Aku harap anak-anakku, Bayu (7) dan Luna (4) juga tidak mempunyai beban yang mereka fikirkan di masa kanak-kanaknya ini. Dari situlah nampak sebuah perkampungan kecil yang hanya terdapat 8 buah rumah sederhana. Kami berhenti di rumah paling ujung. Inilah rumah yang sudah di beli suamiku untuk kami tinggali dengan anak-anak. Diantara rumah lain yang ada di kampung ini, rumah ini sudah termasuk sangat bagus, karena lebih besar dan mewah. Tapi menurutku, rumah ini masih tetap sangat sederhana dibandingkan dengan rumahku sebelumnya. "Aku tidak mau memikirkan yang lalu", fikirku dalam hati.
Aku turun dari taksi, diikuti anak-anak dan suami. Aku baru menyadari, ternyata rumah ini adalah ujung dari jalan yang kami lalui dari tadi.
"Bagaimana sayang? Apa kamu suka rumah ini?" tanya suamiku, Vito (32). "Rumah ini memang sederhana, tapi aku yakin kita sekeluarga akan nyaman tinggal di rumah ini, jauh dari keramian kota, pemandangan alam yang indah, ini sangat menyejukkan fikiran, Gina". Kata suamiku bangga. Aku hanya tersenyum mengangguk tanda setuju.
Vito berjalan membawa barang-barang di ikuti anak-anak menuju rumah, aku ikut berjalan di belakang mereka dengan pelan sambil memperhatikan halaman rumah ini. Halaman depan dan samping, lumayan luas juga, tapi masih kosong, aku  akan mengisi halaman ini dengan tanaman2 yang bagus dan bermanfaat, fikirku dalam hati. dan sepertinya bangunan ini termasuk bangunan lama, karena bentuk rumah dan jendelanya seperti bangunan-bangunan lama yang ada di TV.
"Ayo Gina, kita masuk", teriak Vito. Aku berjalan cepat ke dalam rumah. Rumah yang benar-benar kosong, tidak ada satupun barang yang terdapat di dalam rumah ini, hanya terdapat debu yang sangat tebal. Kami harus memulai dari awal. Aku rasa, aku nyaman tinggal di rumah ini, dan aku berharap, ini adalah rumah kami yang terakhir, walaupun jauh dari pusat kota.
Dengan cepat, kami sudah memutuskan kamar yang akan di tempati oleh masing-masing anak. Aku dengan Vito, kamar paling depan, dekat ruang tamu. Luna kamar tengah, dekat ruang keluarga, dan Bayu di kamar dekat lorong antara ruang keluarga dengan dapur. Mereka senang sekali bisa mendapatkan bisa mendapatkan kamar masing-masing, walaupun Luna tidak akan berani tidur sendiri di kamarnya.
Ternyata dari dalam, rumah ini lumayan besar, sangat beda ketika dilihat di luar. Rumah ini ternyata memanjang ke belakang. Kami membersihkan dan mendesain rumah ini seadanya, karena barang yang kami milikimemang tidaklah banyak. Seharian ini kami habiskan hanya dengan bersih-bersih, walaupun belum semuanya bersih, yang penting kamar kami sudah nyaman untuk di bawa tidur.
Malam pertama di rumah ini, kami tidur dengan sangat pulas. Aku tidak menyangka kalau Luna berani tidur sendiri di kamarnya. Katanya, dia mau menikmati kamarnya sendiri yang udah dia desain sendiri.
Bandung, Kamis / 27 Agustus 2015
Keesokan paginya, Luna teriak kegirangan dan memelukku. "Ibuuu....... Aku sudah tidak takut lagi tidur sendiri, aku suka sekali tidur sendiri di kamar aku, Bu."
"Oh ya? Aduuuhhhhh..... Anak Ibu sudah gede ternyata." Jawabku sambil mengecup keningnya. Aku senang sekali mereka bisa senang tinggal disini. semoga saja mereka betah.
"Apa kita jadi pergi belanja untuk keperluan rumah, hari ini?" tanya vito.
"Bagaimana caranya kita pergi? Aku lihat disini tidak ada angkot yang masuk ke daerah ini. Apa kita pesan taksi?" tanyaku balik.
"Ya udah, kita pesan taksi saja, lalu kita ke rumah Ibu dulu, kita ambil sepeda motor, baru kita belanja", jawab Vito setelah berfikir lama.
Sekarang aku yang berfikir lama, setelah Vito menyebut mau ke rumah Ibunya. "Kalau begitu, aku tunggu di pasar, sedangkan kamu dengan anak-anak pergi menjemput sepeda motor"
"Gina, kamu jangan seperti itu, aku jadi serba salah kalau kamu seperti itu.Apapun yang terjadi, kita akan hadapi bersama-sama", bujuk Vito
Aku menunduk, berfikir, apa yang harus aku lakukan? Vito sangat mencintai aku dan kedua anak kami, begitupun juga dengan aku. Aku tidak mau keluargaku hancur gara-gara perseturuan orang tua kami. Vito sangat berjiwa besar, masih mau menerima aku sebagai istrinya, setelah apa yang dilakukan Ibuku kepada Ayahnya.
Ibuku sudah membunuh ayahnya, dengan cara menusukkan belati keluargaku ke perut ayahnya. Ibuku kalap karena terlau emosi, ayah Vito sudah menipu perusahaan keluargaku, sehingga sekarang kami sudah tidak punya apa-apa lagi.
Ayahku sudah meninggal sejak aku masih berumur 4 tahun, selama ini aku tinggal dengan ibuku. Yang aku punya hanya Ibu, sampai akhirnya aku menikah dengan Vito. Ayah Vito memanfaatkan Ibuku, dan menipu perusahaan kami. Sekarang Ibu di penjara, perusahaan kami bangkrut, sampai harus menjual rumah beserta isinya.
Ya Tuhan, kenapa aku seperti ini? Tapi aku masih bersyukur, karena selalu ada Vito yang mendukungku, dalam situasi apapun, dan juga kedua jagoan kebanggaanku.
"Ya, aku akan ikut kamu ke rumah Ibu." jawabku sambil tersenyum. "Ayo Bayu, Luna, cepat habiskan sarapan, setelah itu mandi, kita mau pergi"
"Horeee....." Mereka cepat-cepat menghabiskan sarapan nya dan berlari menuju kamar masing-masing.

Sampailah akhirnya kami di rumah Ibunya Vito, aku melangkah dengan ragu dan anak-anak bersembunyi di belakangku. Vito selalu menenangkanku, tapi jujur, aku tidak bisa tenang. Pintu di buka oleh Ibu Vito sendiri, Ibunya langsung menjerit-jerit histeris begitu melihat aku.
"Ngapain kamu ke sini lagi? Kamu belum cukup membunuh suami saya? Sekarang kamu mau membunuh saya juga? Ayo bunuh, bunuh sekarang, biar kamu puas"
"Ibu, aku takut". Kata Bayu dan Luna sambil memelukku dengan erat.
"Ibu, tenang Bu" Vito menenangkan Ibunya.
"Dasar pembunuh, keluarga pembunuh, pergi kami dari sini, pergi!!! Aku tidak sudi melihat kamu disini, apa kamu pikir penjara itu bisa menghidupkan suami saya lagi?"
"Sudah Bu, tenang Bu"
"Kamu juga, Apa yang kamu bela dari dia? Ibunya itu sudah membunuh ayah kamu Vito!!"
"Ibu, dia Gina, Bu, istri aku. sedangkan yang membunuh ayah, Ibunya Gina, Bu."
"Apa beda anak dengan Ibunya? Sama saja."
"Ibu, aku kesini mau ambil sepeda motorku"
"Ambil sana, setelah itujangan pernah kembali lagi kesini."
Ibu Vito masuk kedalam, Vito tersenyum padaku dan masuk kedalam mengambil sepeda motor. Aku menunggu di luar dengan Bayu dan Luna.

Setelah sampai di rumah, dengan membawa barang belanjaan yang banyak hanya dengan sepeda motor yang di isi 4 orang. Ketika kami membuka pintu rumah, di lihat isi rumah yang berantakan, seperti ada angin topan yang bertiup hanya dalam rumah ini. Ada apa ini? Kami semua melongo melihat rumah ini jadi seperti ini? Apakah ada maling? Aku melangkah masuk, dan melihat isi rumah dan lemari, semua utuh, tidak ada yang hilang satupun, tapi berantakan. Apa maksud orang yang melakukan ini? Hanya iseng? 

BERSAMBUNG


Penasaran dengan apa yang terjadi? tunggu kelanjutannya di BAB II ya, jangan lupa di subscribe ya. Ini tulisan aku yang pertama, mohon jangan di copas dan ambil hak milik ya, karena ini asli tulisan saya. Kalau ada salah dalam penulisan dan kata-kata, tolong komentarnya. karena saya masih baru, dan masih perlu banyak perbaikan. terimakasih sudah menyempatkan waktu untuk membaca.